Views
Sejumlah wartawan melakukan aksi menolak tindak kekerasan. Mereka menuntut adanya perlindungan hukum bagi profesi wartawan menyusul kekerasan yang kerap terjadi akhir-akhir ini. Demikian berita yang dimuat hampir kebanyakan media cetak di awal Juli 2009.
Setiap terjadi kekerasan terhadap wartawan, selalu saja ada berita. Wartawan memang kompak karena mempunyai korps. Beberapa organisasi profesi ada di bumi kita, sebut saja Persatuan Wartawan Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia.
Rupa-rupanya wartawan hanya bisa melihat kekerasan fisik yang menimpa dirinya atau rekannya. Di lain pihak, baik disadari maupun tidak disadari, wartawan tidak mampu melihat apa yang mereka lakukan terhadap penulis-penulis artikel.
Tidak dimungkiri, banyak tulisan yang dikirim para penulis luar ditolak mentah-mentah oleh redaksi. Tetapi kemudian diolah lagi oleh media bersangkutan, termasuk oleh media besar sekalipun. Anggapannya adalah idenya bagus, namun redaksionalnya kurang mendukung. Mereka banyak mengembangkan tulisan berkat ide penulis-penulis artikel tersebut. Justru tidak sedikitpun melibatkan sang penulis artikel.
Beberapa surat pembaca pernah mengeluhkan hal demikian. “Saya pernah mengirimkan tulisan ke sebuah media. Ternyata tulisan tersebut tidak dimuat, malah kemudian yang muncul adalah tulisan wartawan media bersangkutan. Banyak ide saya diambil oleh media tersebut,” keluh seorang penulis.
“Tulisan saya pernah ditolak, tahu-tahu beberapa paragraf muncul dalam tulisan seorang wartawan media tersebut,” timpal yang lain. Keluhan dilayangkan, namun pembajakan—kalau boleh disebut demikian—tetap terjadi sampai kini.
Saya tahu persis itu pembajakan, karena saya pernah menjadi wartawan. Bahkan saya pernah mengembangkan sebuah tulisan ketika mendapat tugas dari sang redaktur pada awal menjadi wartawan. Itulah satu-satunya “kebodohan” yang saya lakukan. Saya juga pernah melihat beberapa rekan “mengobrak-abrik” proposal mahasiswa yang dianggap menarik. Lantas mendapat uang tugas dari redaksi untuk memperluas bidang garapan hasil “membajak” itu.
Waktu terus berlalu. Hak cipta penulis artikel tetap tidak digubris. Mau protes, wartawan lebih pintar berkelit. Padahal, kejahatan yang dilakukan wartawan seperti itu, lebih serius daripada sekadar kekerasan fisik. Ini menyangkut hak atas kekayaan intelektual.
Seharusnya ada kerja sama antara wartawan dengan penulis artikel. Hal seperti ini perlu dilakukan karena penulis artikel—seperti saya ini—tidak mempunyai korps. Hanya berjuang sendiri berdasarkan karya kreatif demi sesuap nasi. Selama ini saya cuma bisa gigit jari melihat tulisan-tulisan saya dibajak. Sampai kapan hal ini terus terjadi? Mudah-mudahan ada tanggapan positif dari para wartawan, termasuk organisasi kewartawanan, Dewan Pers, dan pihak-pihak terkait.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar