Views
istimewa
aneka bentuk sumpit
eranti makan yang paling umum dikenal di Indonesia adalah sendok dan garpu. Sendok dipegang oleh tangan kanan dan garpu oleh tangan kiri. Bisa sebaliknya bila orang tersebut bertangan kidal. Di luar itu, ada lagi peranti makan yang disebut sumpit. Peranti itu berupa sepasang bambu atau kayu yang panjangnya kira-kira 20 cm dengan bagian ujungnya berbentuk lingkaran berdiameter sekitar 0,5 cm.
Berbeda dengan sendok dan garpu, sumpit digunakan dengan satu tangan, baik dengan tangan kanan maupun tangan kiri. Caranya adalah menjepit makanan tersebut lalu disorongkan ke dalam mulut. Umumnya sumpit berhubungan dengan mi. Namun makanan-makanan lain yang tidak berkuah dan berbentuk kecil, juga bisa menggunakan sumpit. Cara khusus memakai sumpit adalah memegang kedua bilah bambu atau kayu itu seperti sedang menulis. Keduanya diletakkan di antara bidang ibu jari dengan telunjuk sambil digerak-gerakkan oleh jari tengah.
Pengguna sumpit yang mahir mampu mengambil beras atau butiran-butiran yang amat kecil -dengan cepat. Bahkan ketika memasukkan makanan, tidak menyentuh mulut sama sekali.
Sumpit dikenal di daratan Tiongkok sekitar 5.000 tahun yang lalu. Namun baru memasyarakat sejak zaman dinasti Shang (1766-1122 SM). Asumsi terciptanya sumpit kira-kira begini. Dulu orang memasak menggunakan sebuah kuali besar. Untuk mengaduk makanan tersebut, agar tangan tidak terasa panas, mereka menggunakan ranting pohon yang bercabang dua. Lama-kelamaan karena populasi penduduk semakin meningkat, maka makanan tersebut dipotong kecil-kecil. Karenanya alat pemegang dan pengaduk pun berupa bilah-bilah yang lebih kecil (Ancient Chinese Chopsticks Exhibition, 2001).
Umumnya sumpit Cina berbentuk segi empat pada bagian atas dan agak tumpul pada bagian bawah dengan panjang 22-25 cm. Sekitar tahun 500, sumpit digunakan secara luas di Cina, lalu menyebar ke Vietnam, Korea, dan Jepang. Di Jepang sumpit banyak dipakai pada upacara keagamaan. Sumpit tersebut dibuat dari satu batang bambu yang bagian atasnya masih menyatu. Baru pada abad ke-10 sumpit dibuat dari dua bilah batang yang terpisah.
Desain sumpit Jepang agak berbeda dengan sumpit Cina. Bagian atas sumpit Jepang agak bulat dan meruncing pada ujungnya. Ukurannya pun lebih pendek dari sumpit China. Bahkan ada aturan sendiri untuk memakainya, yakni berdasarkan jenis kelamin. Sumpit untuk perempuan berukuran sekitar 17,5 cm dan untuk pria sekitar 20 cm.
Selain bambu orang-orang Jepang membuat sumpit dari berbagai jenis kayu dengan gaya khas. Pada awal abad ke-17, sumpit-sumpit kayu itu dipermodern dengan cara diberi lapisan pernis. Dengan demikian menjadi tahan lama, meskipun agak licin kalau digunakan. Dengan pertimbangan faktor kesehatan, orang-orang Jepang pun kemudian membuat sumpit sekali pakai. Artinya, setelah digunakan sekali, sumpit tersebut lantas dibuang.
Secara tradisional, sumpit terbuat dari berjenis-jenis bahan. Bambu merupakan bahan yang paling populer karena berbagai pertimbangan, misalnya harganya murah, tersedia di mana-mana, mudah dibentuk, tahan panas, dan tidak mengubah rasa ma-kanan. Kayu cedar, cendana, jati, cemara, dan tulang juga digunakan untuk membuat sumpit. Orang-orang kaya bahkan membuat sumpit dari batu giok, emas, perak, perunggu, kuningan, batu akik, batu koral, dan gading gajah.
Pada masa pemerintahan para dinasti di Cina, sumpit berbahan perak banyak digunakan. Orang purba percaya bahwa perak akan berubah warna jika bersinggungan dengan makanan-makanan beracun. Jadi ini merupakan langkah kewaspadaan yang dilakukan para bangsawan Cina tempo dulu untuk menghindari usaha pembunuhan dari para pengkhianat atau lawan politik.
Sumpit-sumpit kuno banyak ditemukan dalam berbagai situs arkeologi di Cina. Yang tertua berasal dari zaman dinasti Shang, terbuat dari tulang binatang. Dari zaman yang lebih muda, antara lain berbahan gading dan perak. Juga kombinasi keduanya. Di antara sumpit-sumpit tersebut ada yang unik dan langka karena berukir dan bertali pada bagian atasnya. Sumpit terpendek berukuran 5,2 cm, sementara yang terpanjang 28,9 cm.
Di Indonesia sampai sejauh ini belum ada temuan-temuan sumpit kuno. Mungkin benar kata orang-orang hina yang pernah berkunjung ke tanah Jawa beberapa abad silam. "Orang Jawa kalau makan tidak menggunakan sumpit tetapi dengan tangan kosong," kata para musafir Cina sebagaimana tertulis dalam Kitab Para Dinasti.
Kolektor Sumpit
Penggunaan sumpit secara luas tidak lepas dari peranan Confucius atau Konghucu (551-479 SM), nabi besar bangsa Cina. Sebagai seorang vegetarian, Confucius berpandangan bahwa makan dengan pisau di atas meja sebagaimana orang Barat akan mengingatkan orang pada rumah jagal hewan. Karenanya dia menganjurkan agar orang menggunakan sumpit. Dengan begitu ada ketenangan jiwa di antara keluarga yang sedang menikmati hidangan.
Pemakaian sumpit diyakini mengandung nilai, etiket, dan filosofi. Bahkan menurut penelitian banyak pakar, pemakai sumpit memiliki tingkat intelegensi tinggi daripada bukan pemakai sumpit. Sumpit juga dianggap sebagai perlambang kesetaraan, keharmonisan, dan persatuan.
Filosofinya demikian: sepasang sumpit harus setara, sama tingginya. Kalau tidak, akan terasa pincang, sehingga akan me-nyulitkan orang untuk mengambil makanan. Gerak sumpit harus harmonis. Kedua-duanya harus sama-sama digerakkan ke depan atau ke belakang agar makanan bisa terjepit. Jika yang satu bergerak ke depan, yang lain ke belakang, tentu makanan tidak bisa dicomot. Sepasang sumpit pun harus bersatu. Sebuah sumpit saja tentu tak akan mampu menjepit makanan. Perlu kerja sama atau persatuan antar keduanya agar berhasil.
Sementara itu ditinjau dari sudut kesehatan, menurut para pakar medis, menggunakan sumpit saat menyantap makanan berpotensi menimbulkan radang sendi pada tangan, terutama telunjuk dan jari tengah. Sampai sejauh mana efek samping penggunaan sumpit, tentu masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Saat ini kebudayaan memakai sumpit sudah menyebar ke seluruh dunia. Bahan dan bentuk sumpit pun telah menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat. Kini ada sumpit yang terbuat dari plastik dan porselen. Para seniman pun, termasuk dari Bali dan Yogyakarta, sering berkreasi mengukir sumpit. Sumpit sebagai karya seni banyak diburu kolektor dunia, termasuk tatakannya yang beraneka bentuk.
Sumpit merupakan peninggalan masa lampau yang bermanfaat untuk kajian sejarah, arkeologi, dan ilmu pengetahuan lainnya. Kini, dengan semakin banyaknya jenis sumpit, bertumbuh pula jaringan kolektor yang hobi mengumpulkan sumpit. Para kolektor ini bukan saja dari berasal negara yang merupakan negara "asal" sumpit, tetapi juga dari berbagai belahan dunia lainnya. Di Indonesia, walaupun belum ada datanya, diperkirakan tak sedikit pula kolektor yang senang mengumpulkan sumpit. Semoga di Indonesia makin banyak orang menjadi kolektor sumpit. Dengan demikian nantinya akan berdiri Museum Sumpit.
DJULIANTO SUSANTIO
(Suara Pembaruan, 31 Juli 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar