Views
Sejarah pelayaran dan perniagaan Nusantara abad ke-16 dan ke-17, ternyata menyimpan masa lalu yang kelam di bidang perdagangan. Nusantara, negara yang kaya akan hasil alam tidak hanya menjual rempah-rempah semata. Nusantara, melalui jalur pelayaran dan perniagaan menjadi negara pengekspor terbesar lada, pala, dan manusia sebagai budak belian.
Lambung kapal, pada abad ke-16 dan ke-17 tidak sepenuhnya berisi benda mati seperti sutra, emas, kayu, dan berbagai rempah-rempah. Kapal-kapal yang dipakai sebagai alat transportasi perdagangan juga menyimpan puluhan manusia untuk dijual. Pada abad ke-16 dan abad ke-17, Nusantara sudah dikenal sebagai negara yang rutin menjual lada, pala, dan budak belian.
Masa kelam perdagangan melalui pelayaran dan perniagaan Nusantara ditulis oleh Adrian B Lapian, dalam buku berjudul Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke16 dan 17. Buku yang berisi 180 halaman, resmi diluncurkan pada Selasa (9/9), memaparkan tentang teknologi dan pusat-pusat pelayaran, pola pelayaran dan perdagangan, serta pelabuhan Indonesia.
Fakta sejarah perdagangan Nusantara sekitar abad ke-16 dan awal abad ke-17, memaparkan tiga barang terpenting untuk diekspor ke negara Eropa, atau antarpulau. Ketiga barang dagangan tersebut adalah lada, pala dan budak belian. Dari tiga barang dagangan, budak belian merupakan barang yang paling laris.
Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, kepada SP, menuturkan budak belian pada abad ke-16 dan ke-17 sangat diperlukan oleh kompeni Belanda, para hartawan, bangsawan, dan pedagang besar. Sepenuhnya, budak belian menggantungkan nasib kepada orang yang menjadi tuan mereka.
"Pada abad itu, perdagangan bukan hanya dipenuhi dengan hasil rempah-rempah saja. Orang yang terjerat utang bisa diperdagangkan menjadi budak belian," kata Susanto.
Pada umumnya, budak belian dipekerjakan sebagai buruh kasar di pelabuhan atau pendayung kapal perang. Pada abad ini, kebanyakan orang menjadi budak belian karena kalah perang atau tidak bisa membayar utang.
Budak belian, kebanyakan berasal dari daerah pedalaman. Semisal, budak belian dari pedalaman Palembang diekspor ke pedagang kaya di Malaka. Biasanya, budak diekspor bersama dengan hasil alam daerah tersebut. Bahkan, demi budak belian, dua atau tiga pedagang dari Malaka sengaja datang ke Pelabuhan Sunda Kelapa, khusus untuk membeli.
Daerah lain yang dikenal sebagai penghasil budak belian, yakni Jawa Timur. Budak yang ada di Madura, Jawa Timur berasal dari Nusa Tenggara ke Malaka. Tidak hanya masyarakat lokal, orang Portugis pun ikut serta dalam perdagangan budak. Diketahui, terdapat ekspor budak dari Panarukan ke Malaka.
Budak belian laki-laki, pada abad ke-16 dan ke-17 lebih digunakan untuk bekerja di perkebunan dan usaha yang dijalankan pihak kompeni Belanda. Sementara, budak belian perempuan, dipekerjakan di rumah sebagai pembantu atau simpanan. Sayangnya, dalam buku Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke16 dan 17, Adrian tidak menuliskan jumlah budak belian di Indonesia.
Terkait dengan kondisi Indonesia saat ini, budak belian ternyata, masih terus ada di Indonesia. Namun, istilah yang dipakai bukan budak belian, melainkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW). Para TKI dan TKW dikirim dengan atau tanpa izin, ke negara-negara yang membutuhkan tenaga kerja manusia. Dikatakan Susanto, para TKI dan TKW nasibnya hampir sama dengan budak belian, yang menggantungkan haknya atau upahnya pada lembaga, tanpa ketentuan yang jelas.
Selain menjual budak belian, Nusantara juga dikenal sebagai negara pengekspor lada dan pala. Hasil rempah tersebut, kebanyakan diambil dari Ambon, Kepulauan Banda, Maluku Utara, Jambi, Palembang, dan Lampung.
Tidak hanya tentang budak belian dan hasil rempah, buku yang dipersembahkan khusus untuk mengingat usia 80 tahun AB. Lapian ini, juga memaparkan tentang kehebatan pelayaran Indonesia pada abad ke-16. Meskipun, para pelaut Indonesia tidak dilengkapi dengan alat-alat yang canggih, mereka tetap bisa membaca kondisi perairan.
Dalam buku ini, AB. Lapian menggambarkan sejarah pelayaran dan perdagangan sesudah kerajaan-kerajaan Indonesia Hindu, atau masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam antara tahun 1500 dan 1700.
Sejarawan yang mendapat gelar Nahkoda sejarah maritim Indonesia ini, juga mengajak pembaca menelusuri jejak penduduk Nusantara dengan budaya maritimnya. Kondisi pelayaran Indonesia sejak dulu telah mengembangkan jaringan hubungan maritim yang baik, didukung kemajuan teknologi kapal, keahlian navigasi, dan semangat yang besar.
Ditambahkan Susanto, buku milik AB. Lapian menceritakan bahwa pelayaran Nusantara ternyata tidak ketinggalan dengan pelayaran negara maju lainnya. Para pelaut, sejak dulu dikenal ahli membaca kondisi laut.
"Pelaut zaman dulu, lebih mengandalkan insting daripada peralatan. Pelaut bisa membaca bahaya di laut luas hanya dengan melihat gerak ombak atau arah angin. Keahlian tersebut yang kini jarang dipakai oleh generasi pelaut muda Indonesia," ujar Susanto. [EAS/U-5]
(Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 13 September 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar