Views
Oleh Djulianto Susantio
Banyak orang berpandangan foto yang baik harus selalu dihasilkan oleh fotografer andal atau ditunjang peralatan mahal. Kamera digital atau kamera SLR berharga jutaan, light-meter keluaran terbaru, lighting produk impor, dan peralatan lain yang tergolong "wah" memang mampu "menyulap" suatu objek menjadi lebih indah dari aslinya.
Jangan heran kalau orang berani membayar mahal terhadap pekerjaan ini, Mengingat investasi yang dikeluarkan seorang fotografer dalam mengeloal studio fotonya amat besar. Banyak orang juga berpi-kir, foto yang baik merupakan hasil wartawan senior atau fotografer kelas atas. Berbagai kontes atau lomba foto yang sering dise-lenggarakan di tanah air kita, hampir semuanya didominasi mereka yang sudah mapan bergelut di dunia fotografi.
Sudah jelas foto yang baik yang dihasilkan di dalam studio amat berkualitas karena ditunjang perangkat khusus. Karena mahalnya peralatan tersebut, maka peminat fotografi di dalam ruang relatif sedikit.
Kebalikannya terjadi pada fotografi luar ruang. Umumnya peralatan fotografi luar ruang cukup sederhana. Peralatan utama tentu kamera, apa pun merek dan jenisnya. Perlengkapan lainnya seperti tripod (kaki tiga kamera), lampu blitz, dan berbagai jenis lensa tidaklah mutlak. Artinya, kalau ada, lebih menguntungkan. Kalaupun tidak ada, tidak menjadi soal.
Karena itu fotografi luar ruang amat disukai para pehobi foto. Lagi pula berbagai kontes dan lomba foto umumnya mengambil tema luar ruang. Berbagai hadiah yang menggiurkan membuat orang berlomba-lomba menghasilkan foto yang baik. Apakah foto yang baik itu? Mungkin terlalu banyak unsurnya, tapi secara umum foto yang baik adalah foto yang mengandung momen/ peristiwa tertentu atau sesuai teknik/standar fotografi.
Foto memang merupakan karya kreatif atau karya seni seseorang. Karena itu hadiah yang ditawarkan relatif besar hingga belasan juta rupiah untuk pemenang pertama. Namun biasanya ada batasan-batasan tertentu untuk mengikutinya. Ada yang hanya boleh diikuti wartawan, seperti hadiah jurnalistik Adinegoro dan MH Thamrin (nasional) serta World Press Photo (internasional). Ada pula untuk masyarakat umum tanpa terkecuali, misalnya Lomba Foto Swasta dan Lomba Foto Lingkungan.
Remaja
Kini dunia fotografi sudah merambah ke berbagai kehidupan keluarga. Banyak warga masyarakat, terlebih remaja, sudah tak lagi menganggap kamera sebagai benda mahal. Di pasaran tersedia berjenis-jenis kamera yang berharga relatif murah.
Banyak kamera saku atau compact camera yang tergolong jenis "kacangan" dijuat seharga Rp 50.000. Meskipun demikian, ada pula kamera saku "beneran" yang berharga Rp 500.000-an hingga di atas Rp 1 juta.
Banyak peminat fotografi juga dimungkinkan oleh semakin mudahnya pengoperasian kamera. Pada kamera saku yang tergolong canggih, misalnya, pemotret tinggal memasukkan film ke kamera. Setelah itu mencari gambar/ momen/pose yang dianggap baik. Bila sudah merasa sreg, pemotret cukup memencet tombol bidik. Karena menggunakan kamera otomatis, tentu saja pemotret tidak perlu memperhatikan kecepatan film yang digunakan, kecepatan rana yang diperlukan, diafragma, dan jarak. Masalahnya, kamera otomatis akan mencari sendiri fokus dan hal-hal lain yang diperlukan.
Bila tombol bidik sudah bekerja pun kita tidak perlu mengokang. Pengokang akan bekerja sendiri menuju film selanjutnya. Pada akhir film, film akan menggulung sendiri. Setelah itu kita tinggal menyerahkannya kepada laboratorium foto.
Kamera SLR pun sekarang banyak memiliki fasilitas demikian, yakni autofocus dan autorewind. Adanya kamera canggih ini semakin mengundang minat para pemotret pemula. Baik untuk mencoba-coba maupun untuk meningkatkan pengetahuan mereka.
Sarana lain yang mendukung para pehobi adalah adanya media khusus fotografi atau media-media cetak yang mempunyai rubrik fotografi. Adanya rubrik-rubrik tersebut membuat para pehobi berusaha mengukur kemampuannya. Minat fotografi yang semakin merebak juga disebabkan honorarium yang diberikan sebuah media relatif besar.
Adanya klub-klub foto amatiran di berbagai sekolah dan perguruan tinggi merupakan upaya mengembangan fotografi. Klub-klub ini sering menyelenggarakan acara buru foto, foto bersama model, pameran fotografi, seminar fotografi, atau kontes-kontes kecil untuk para anggotanya. Bahkan dalam jangkauan l ebih besar, kadang-kadang mengadakan lomba foto antar-SLTA atau antarperguruan tinggi.
Sebenarnya para pemula atau masyarakat awam bisa menghasilkan foto yang (dianggap) baik. Biasanya berupa foto jurnalistik atau yang mengandung peristiwa khusus. Foto yang baik juga tergantung dari keberuntungan si pemotret dalam mendapatkan objek, meskipun menggunakan kamera saku murahan. Jadi bukan semata mata karena keprofesionalan si pemotret. Seorang fotografer andal belum tentu akan memperoleh momen yang langka merupakan milik siapa saja dan dapat diperoleh dengan kamera apa saja.
Sekadar gambaran, beberapa tahun lalu seorang pemiliki warung di pinggiran Yogyakarta pernah mengabadikan sebuah truk yang terbakar di tengah jembatan. Walaupun dengan kamera saku kacangan ternyata fotonya banyak disukai wartawan. Alhasil, foto-fotonya terpampang pada berbagai media cetak nasional dan daerah. Sudah tentu keuntungan finansial berhasil diperoleh si pemotret amatiran itu.
Di luar negeri seorang pemotret "ingusan" pernah mendapat "durian runtuh" sebesar 40.000 dolar untuk empat buah fotonya yang dibeli koran setempat. Kenapa harganya begitu tinggi? Foto tersebut tergolong langka, berupa seorang selebriti terkenal sedang bertelanjang dada di tepi pantai.
Sekali lagi, foto yang baik (dalam persepsi yang beraneka ragam) tidak hanya dihasilkan oleh kamera yang canggih atau pemotret yang mahir. Foto yang dipandang baik juga mampu dibuat oleh pemotret kelas kampung dengan kamera murah.*
(Sumber: Suara Pembaruan, 3 April 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar