Views
Temuan kapal tenggelam di perairan utara Cirebon tahun 2003 dan ekskavasinya tahun 2004/2005 merupakan sebuah sensasi arkeologi. Pengangkatan benda purbakala itu pun menggunakan standar ekskavasi ilmiah. Meski evaluasi menyeluruh temuan itu memerlukan waktu cukup lama, namun diyakini bahwa temuan yang digolongkan oleh ilmuwan dalam dan luar negeri sebagai salah satu pencapaian arkeologi terbesar pada dasawarsa ini. Temuan ini dianggap dapat mengubah persepsi orang terutama tentang peran Indonesia dalam tatanan politik dan budaya dunia.
Hasil pengangkatan hingga pada saat ini mencapai sekitar 500.000 benda. Namun sangat disayangkan benda-benda purbakala yang terus dalam perawatan itu, sejak akhir januari 2006 tidak berlanjut, ujar Horst H Liebner, Tenaga Ahli Bidang Budaya dan Sejarah Bahari, Departemen Kelautan dan Perikanan RI kepada Pembaruan belum lama ini.
"Sangat disayangkan, bahwa semua kegiatan pemeliharaan terpaksa dihentikan. Gudang penyimpan barang-barang itu dan laboratorium lapangan di kawasan Pamulang, Tangerang, Banten, disegel polisi sejak akhir bulan Januari 2006. Semua benda-benda purbakala itu jadi terbengkelai dan tidak ada yang memelihara," kata Horst. "Kalau kondisinya seperti itu, maka barang-barang yang semula dirawat akan menjadi rusak."
Hal senada juga diungkapkan Suroso, Direktur Peninggalan Purbakala Ditjen Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Periwisata, kepada Pembaruan Rabu (19/4) lalu. Menurut dia, benda-benda itu harus dirawat. Tetapi dengan kondisi disita, siapa yang tahu keadaannya. Karena itu, yang menyita yang seharusnya bertanggungjawab atas barang-barang tersebut.
Horst menambahkan, kapal yang karam di tengah Laut Jawa ini, tambahnya, membawa muatan yang dari seluruh wilayah Samudra Hindia dan Laut China Selatan. Keanekaragaman muatan ini mencerminkan jangkauan jalur perdagangan di kawasan itu sejak abad ke-2.
Sedangkan dalam laporan ilmiahnya, Horst menyebutkan, penemuan kapal karam ini akan sangat membantu dalam penelusuran sejarah Nusantara pada pertengahan kedua abad ke-10. Evaluasi terhadap berbagai benda milik para penumpang dan awak kapal yang telah diangkat dan awak kapal yang telah diangkat ke permukaan akan menggambarkan detil-detil keadaan sosial dan politik di kawasan ini yang tak terbayangkan.
Karena itu, di kapal itu terdapat berbagai artefak yang dihiasi dengan ukiran dan tulisan, dan beberapa di antaranya menunjukkan adanya orang ber-kedudukan tinggi yang beragama Islam sebagai penumpang di atas kapal ini, tambahnya. Bahkan, evaluasi horizon benda-benda tersebut meng-indikasikan kemungkinkan bahwa penumpang-penum-pang itu bermaksud men-yebarkan Agama Islam di tempat tujuan kapal.
Romawi
Menurut Horst, Wilayah Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan dihubungkan oleh sebuah sistem perdagangan laut yang terdiri dari tiga lingkaran yang mengikuti perubahan arah angin musiman. Adanya hu-bungan rutin antara pelabuhan-pelabuhan Mesir di bawah dinasti Yunani Ptolemeï dan India tercatat pada abad terakhir Sebelum Masehi. Para saudagar Graeco-Romawi yang menggerakkan perdagangan itu sudah pada abad pertama Masehi menyebutkan, jumlah dan ukuran kapal yang mendatangi India dari sebelah Timur lebih besar daripada yang datang dari Mesir.
Peran saudagar-pelaut asal kawasan Nusantara diketahui melalui berbagai temuan arkeologi dan sebutan dari sumber Persia, Arabia dan Cina, ujarnya. Hubungan perdagangan itu menyebabkan timbulnya kekuatan-kekuatan politik di wilayah Selat Malaka dengan mendirikan pelabuhan transit dan pasar-pasar bagi barang yang didatangkan dari Cina dan kawasan barat Samudra Hindia. Dapat diperkirakan bahwa tujuan pelayaran kapal yang karam ini adalah Pulau Jawa. Bila garis haluan dari Selat Bangka ke tempat tenggelamnya ditarik garis lurus dapat disimpulkan bahwa kapal itu menuju ke Teluk Semarang, yang sejak abad ke-8 terdapat salah satu pelabuhan terpenting bagi kerajaan di Jawa Tengah.
Pembaruan/Edwin Karuwal
(Suara Pembaruan, Selasa, 25 April 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar